Blog ini Sementara Sebagai BackUp dari Blog KebunHidayah.Wordpress.com

SIlahkan Kunjungi www.kebunhidayah.wordpress untuk membaca artikel terbaru

Persiapkan Bekal Perjalanan Panjang Menuju Rumah Akhirat

Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.

“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24)

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)

Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa

Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya).

Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka. (mengenai telaga Rasulullah, selengkapnya baca di http://kebunhidayah.wordpress.com/2009/08/04/jangan-menjadi-orang-orang-yang-terusir-dari-telaga-rasulullah/ )

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)

Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)

Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa

Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Lelaki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)

Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

(Sumber : Disadur / diringkas dari tulisan Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, M.A.20 Shafar 1430 H)

No comments yet»

Tinggalkan komentar