Blog ini Sementara Sebagai BackUp dari Blog KebunHidayah.Wordpress.com

SIlahkan Kunjungi www.kebunhidayah.wordpress untuk membaca artikel terbaru

Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas Segenap Manusia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Sebagian ulama menafsirkan kalimat “Supaya mereka beribadah kepada-Ku” dengan makna “supaya mereka mentauhidkan-Ku.” (Lihat Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/20)

Jika peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik (yaitu perbuatan yang menjadikan selain Allah sebagai sesembahan atau sesuatu yang dipercayai atau sebagai sesuatu yang diutamakan, red). Bahkan perilaku syirik (misal percaya pada dukun atau ramalan, atau menggantungkan harapan dan nasib kepada selain Allah, red) bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan berkategori syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

Dua ayat ini merupakan peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tidak disertai tauhid dan bersih dari syirik.

Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan semua itu dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendapatkan hak peribadatan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatupun.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukanlah sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan. Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan, minuman, serta menjaga kehidupannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibu hanyalah sebagai penghubung untuk mendapatkan rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tatkala lahir ke dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.

Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.

Rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah meminta kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.

Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan, di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tak terhitung dan tak ternilai.

Oleh karenanya, nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tenggelam tanpa meninggalkan bilangan, di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha:132)

Ketika manusia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.

Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya. Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Itulah Tauhid Uluhiyyah yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik.

Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al-Ma`idah: 72)

Sementara mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.” (Al-An’am: 82)

Kezaliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari)

Janganlah kita lalai sehingga terjatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.’ Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Az-Zumar: 15)

Wallahu a’lam bish-shawab.

( Diringkas & diedit dari tulisan yang bersumber dari Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani, yang berjudul ‘Tauhid Uluhiyyah Inti Ibadah’ )

No comments yet»

Tinggalkan komentar