Blog ini Sementara Sebagai BackUp dari Blog KebunHidayah.Wordpress.com

SIlahkan Kunjungi www.kebunhidayah.wordpress untuk membaca artikel terbaru

Tegar Dalam Menyampaikan Nasehat

“Mendapati seluruh manusia taat kepada Allah lebih aku senangi meskipun dagingku dikerat dengan alat pengerat (garpu atau lainnya).”  Demikianlah tekad semangat dakwah yang selalu dipegang beberapa ulama soleh terdahulu.

Tekad para ulama soleh tersebut merupakan perwujudan dari semangat atas sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.”(Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Sebetulnya, karena dasar inilah para imam kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini berdiri di hadapan umat, menghalau setiap bahaya kesesatan, maksiat dan kemungkaran yang akan menimpa mereka.

Alangkah tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah ketika membalas sebuah naskah keilmuan yang dikirimkan kepada beliau: “Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para Rasul (fatrah) dengan sisa-sisa ahli imu. Mereka mengajak orang-orang yang sesat dan ingkar (agar kembali) kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’ kembali orang-orang yang (hatinya) ‘mati’ terhadap Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al Qur`an). Mereka mencerahkan kembali mata orang-orang yang buta dengan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang telah mereka hidupkan. Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing. Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun) alangkah buruknya perlakuan manusia terhadap mereka. Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan) orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Qur’an), ajaran dari orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil (bodoh) yang telah mengibarkan bendera kesesatan, melepaskan tali-tali fitnah (dan berbagai maksiat dan kemungkaran lainnya).”

Sebagian kaum muslimin menganggap nasihat (berupa jarh / kritikan terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang) adalah sebagai perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh yang dibeberkan kesesatannya pemikirannya, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya.

Sebagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian, Si Anu demikian.” Maka Al-Imam Ahmad mengatakan: “Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan keadaannya), kapan orang yang jahil (tidak berilmu) akan tahu mana hadits (ajaran Islam) yang sahih dan mana yang cacat?”

Sampai ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah: “Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih anda sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya), maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (nasehat untuk menjelaskan kesesatan ahli bid’ah) maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin, maka ini lebih utama.”

Maka jelaslah bahwa manfaat memberi nasehat lebih merata bagi kaum muslimin dan kedudukannya sama seperti jihad fi sabilillah. Karena membersihkan jalan Allah dan agama-Nya, manhaj serta syari’at-Nya serta menghalau kejahatan dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin…”

Seorang mukmin jika dia jujur dalam keimanannya, maka dia tidak akan benci kalau Anda mengatakan kebenaran yang (jelas) dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, meskipun hal itu memberatkannya… Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran tersebut, berarti imannya tidak sempurna, dan persaudaraan itupun berkurang senilai dengan kurangnya iman pada diri ‘saudara’ tersebut. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)

Maka jelaslah, bahwa menerangkan kepada kaum muslimin berbagai kesesatan merupakan salah satu bentuk nasehat untuk kaum muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir (celaan) yang diharamkan.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: “Wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, telah ditegaskan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah nasehat yang termasuk ajaran (agama) Islam.

(kutipan dan hasil edit peringkasan dari tulisan panjang dari Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar yang berjudul “Ketika Nasehat Dianggap Celaan”)

No comments yet»

Tinggalkan komentar